Pengelolaan Banjir
PROKAL.CO, CATATAN: ADITYA ARGA YUSANDINATA
PROKAL.CO, CATATAN: ADITYA ARGA YUSANDINATA
MUSIM hujan kembali tiba dan menimbulkan was-was bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai atau kawasan yang berlahan rendah. Mereka khawatir akan potensi banjir yang sewaktu-waktu dapat merendam tempat tinggal mereka. Banjir sebenarnya merupakan masalah klasik yang selalu menjadi perhatian para gubernur, bupati, Dinas Pekerjaan Umum. Namun, mengapa banjir ini selalu terulang, seakan menjadi tamu wajib ketika musim hujan tiba.
Secara umum, banjir saat ini dapat digolongkan sebagai efek ulah manusia. Konversi lahan terbuka hijau menjadi kawasan pemukiman menyebabkan air hujan tidak bisa terserap ke dalam tanah, sehingga air langsung melimpas ke sistem drainase dan sungai. Kapasitas sungai yang berkurang karena pendangkalan oleh proses sedimentasi, akhirnya sungai meluap.
Menurut Pitojo dan Subagiyo (2017), jika ditarik benang merahnya, penyebab banjir umumnya berkutat pada lima faktor utama. Pertama, berkurangnya daya dukung daerah aliran sungai (DAS). Kedua, pola pengembangan sungai yang masih terikat pada pola pikir lama, yaitu mengalirkan air secepat-cepatnya ke hilir sehingga proyek seperti sodetan, tanggul, dan pelurusan sungai selalu jadi pilihan utama.
Dalam jangka panjang, proyek tersebut dapat mengganggu kestabilan ekosistem sungai karena kemampuan penyerapan air (retensi) sungai menjadi berkurang. Menurut Maryono (2007), pola penanganan banjir dengan konsep, terbukti tidak berkelanjutan dan sudah lama ditinggalkan di Eropa, yaitu setelah 1980-an.
Ketiga, kesalahan perencanaan dan implementasi. Keempat, kesalahan konsep drainase. Seperti pada sungai, konsep drainase seharusnya menjauh dari paradigma lama mengalirkan air secepatnya ke hilir menuju konsep memasukkan air sebanyak mungkin ke dalam tanah. Terakhir, faktor sosial seperti rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat akan sumber daya air dan pemanfaatannya.
Konsep pengelolaan DAS terpadu mulai hulu ke hilir dan berkelanjutan (sustainable) sangat perlu ditengok kembali sebagai solusi demi terciptanya lingkungan bebas banjir. Tidak hanya mengalirkan secepat-cepatnya air ke hilir yang berpotensi menyebabkan banjir di kawasan hilir, tapi memikirkan cara meresapkan air ke dalam tanah.
Pemerintah daerah diharapkan dapat menyosialisasikan kepada masyarakat perkotaan, khususnya di Kabupaten Paser, agar melakukan Gerakan Menabung Air (Gemar) dengan membuat sumur resapan atau biopori untuk mengurangi debit air banjir. Sebagaimana dilakukan kampung 3G alias Glintung Go Green di Malang, sehingga menyabet beberapa penghargaan nasional maupun internasional.
Kawasan Glintung yang dahulu selalu menjadi langganan banjir, kini bebas banjir dan menjadi kawasan wisata Kota Malang, serta dijadikan rujukan dalam konservasi sumber daya air lingkungan kota. (/jib/waz/k16)
Artikel ini telah diterbitkan di harian Kaltim Post edisi 22 Desember 2017
Link: http://kaltim.prokal.co/read/news/320230-pengelolaan-banjir.html
No comments:
Post a Comment